Trias Jilbab Ku! bergetar hati karenanya
Jadi
Terpaksa
Sekarang
Terbiasa
Mentari tersenyum tatkala menyaksikan muslimah berjalan
dengan surai hijabnya...
Kecantikan yang tersebunyi
tak lantas membuatnya terkubur peradaban...
Kelembutan yang tersirat
dari keanggunan, kelembutan dan kemantapan hatinya...
Menyejukan keringnya dunia
ini dengan wanita dambaan syurga...
Panggil saja dia
Assyifa, gadis tomboi yang lahir tanggal 25 Februari 1994, waktu itu tepat
bulan Ramadhan. Tepat jam 12.00 WIB, pada hari jum’at dia hadir ke dunia, Subhanallah pecah tangis bahagia
menyambutnya. Alangkah bahagia kedua orang tuanya, akhirnya putri keduanya
lahir dengan keadaan yang lengkap tanpa cacat. Luar biasa, dengan penuh kasih
sayang ayah dan ibunya merawat dan memberi segala kasihnya. Semakin hari,
semakin beranjak ia ke usia belia. Assyifa adalah anak yang cerdas, prestasinya
sudah terlihat semenjak ia mulai sekolah di taman kanak-kanak. Dari TK ia
selalu menjadi juara umum, itu berlangsung sampai ia lulus dari sekolah dasar.
Sungguh suatu kebanggaan bagi kedua orang tuanya. Penghargaan demi penghargaan
ia dapatkan selama duduk di sekolah dasar.
Percaya tidak?
Assyifa baru bisa shalat dan mengaji ketika ia hendak lulus dari sekolah dasar,
itu pun karena akan ujian sekolah dan mengharuskannya bisa berwudlu, shalat dan
membaca Al-Qur’an. Upaya keras lho...untuk
dia!. Meski awalnya karena terpaksa.
Akhirnya, Assyifa
lulus dari sekolah dasar dan masuk SMP favorit tanpa tes, pencapaian yang luar
biasa baginya. Terkejutnnya ia, ketika di SMP ada salah satu guru agama, yang
kalau anak gaul sekarang bilang killer
. bagaimana tidak, setiap pelajaran agama semua siswa diwajibkan untuk
menghafalkan juz ama lengkap dengan artinya. Jika tidak siap-siap saja menerima
door-prize “nyuci kamar mandi” Subhanallah,
sanksi yang ada manfaatnya untuk orang banyak. Sudah-sudah lupakan masalah
hafalan, satu hal lagi yang membuat Assyifa geram tingkat dewa (bahasa anak
sekarang=alay), setiap hari tellinnganya disela dengan penggaris. “wah... kasian nih rambutnya bagus, tapi
sayangnya bakal jadi bahan bakar neraka!” ujar pak Umar, guru Agama Islam.
Assyifa seketika tersentak dan tertunduk, hanya diam. Gurunya berkata lagi, “tahu tidak, wanita yang sudah baligh wajib
menutup auratnya, karena jika tidak,,, di neraka nanti rambutnya akan
menggantungnya di atas bara api!”, sambil berlalu meninggalkan Assyifa.
Assyifa hanya tertunduk diam, dan merenungkan apa yang dikatakan oleh gurunya.
Kejadian itu berulang setiap hari, selama ia duduk di kelas 1. Sebuah peristiwa
yang membuatnya sempat terpuruk, ketika pengumuman kenaikan kelas ia mendapati
dirinya tidak terdapat diantara deretan nama yang menjadi 3 besar juara umum.
Alangkah sedih dan kecewanya ia, hari-harinya berlalu seperti tanpa nyawa.
Berjalan seolah tanpa tapak yang membekas. Ketika ia mengabarkan berita itu
kepada kedua orang tuanya, alangkah kecewanya mereka. Sempat kedua orang tuanya
marah, tapi pada akhirnya mereka sadar bahwa Assyifa sedang beradaptasi dengan
lingkungan yang baru, dengan orang-orang yang baru dan dengan sistem yang baru.
Lelah, itulah yang
ia rasakan. Matanya yang tak dapat lagi menahan kantuk, punggung yang tak lagi
sanggup menopang tubuh yang letih. Memaksanya untuk tertidur di atas sebuah
kursi kayu, tersandar di dinding ruang tamu selepasnya ia mengerjakan tugas
sekolah. Ketika lelap mulai menjaganya, ia bermimpi. Datanglah seorang lelaki
paruh baya menghampirinya yang tengah asyik bermain. Laki-laki itu menyapanya
lembut, “hei nak, sedang apa di sini?”
tanya laki-laki itu sambil menepuk pundak syifa dari arah belakang. Syifa tentu
saja terkejut, sontak berbalik arah. “saya
sedang bermain pak!”, lalu laki-laki itu berkata lagi, “apakah kamu mendengar suara adzan? Kenapa
kamu tidak berhenti bermain dan pergi untuk sembahyang (shalat)?”. “iya
pak, nanti dulu!” ujar Syifa. Laki-laki itu bertanya lagi, “sepertinnya kamu
sadang gundah, ada apakah nak?”. “ aku hanya sedang berfikir tentang ucapan
guruku, bahwa aku harus memakai jilbab jika tidak ingin digantung di neraka!”.
Lalu laki-laki itu berucap untuk terakhir kali, “fikirkan, renungkan dan
putuskan!”. Syifa terbangun, dan langsung berlari kerena sudah pagi dan saatnya
untuk pergi sekolah.
Hari-hari di sekolah
terasa begitu panjang baginya, karena pikirnya masih terpaut dengan mimpinya
semalam. Bel masuk berbunyi, tepat hari itu adalah pelajaran agama. Memang hari
yang sangat menakutkan bagi syifa. Tumben hari itu guru agamanya tidak
melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi satu kalimat yang
membuat syifa sontak menahan napasnya, “jika kalian ingin nilai bagus pada mata
pelajaran Agama Islam, maka setiap hari wajib membawa alat shalat untuk shalat
berjamaah di sekolah dan bagi yang putri harus menggunakan jilbab!”. Sontak
gaduh memecah suasana, terkejut itulah yang syifa rasakan. Semua perkataan sang
guru selalu melekat di kelopak matanya, yang meski terpejam masih saja terlihat
dengan jelas.
Pada suatu hari, ia
memutuskan untuk memakai jilbab. Syifa mengutarakan niatnya itu kepada ayah dan
ibunya. Keinginannya tentu saja disambut hangat oleh kedua orang tuanya,
“Subhanallah nak, benarkah niatmu itu?” tanya ayah. “tapi nak, ayah dan ibu tak
punya uang untuk membuatkanmu seragam baru!” tambah ibu. “sebenarnya aku juga
tidak mau memakai jilbab, selain repot aku juga tahu ibu tidak ada uang untuk
membayar uang sekolah aja ibu harus ikut bekerja di kebun orang, tapi karena
berpengaruh pada nilai agama, mau tidak mau bu,,!”.
Sungguh kuasa Allah
begitu besar, setiap niat baik pasti akan diberikan jalan . Terbukti, Assyifa
mendapat beasiswa 300 ribu setiap bulannya. Sungguh sutau karunia yang besar,
baru berniat saja sudah mendapat kebaikan. Waktu terus berjalan, tetapi hatinya
belum belum juga mantap dengan keputusannya untuk mengenakan jilbab. Ya.. hanya
di sekolah saja Syifa mengenakan jilbabnya, begitu tiba di rumah ia tanggalkan
penutup itu. Maklum saja gadis tomboy itu tidak terbiasa dengan pakaian yang
serba panjang. Sang ibu memakluminya, tapi ada sedikit kekecewaan yang hadir di
hatinya. Ia merasa belum bisa melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yang
baik.
Di tengah
kebimbangannya itu, Syifa bertekad untuk belajar keras dan memperbaiki
nilai-nilainya kemarin. Perjuangannya dihargai oleh Allah, Ia kembali meraih
posisi terbaiknya. Syifa menjadi siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan begitu
terasa diantara Syifa dengan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, pada saat
pengumuan hasil ujiannya ternyata hasilnya jauh dari harapan, yang ia inginkan
adalah menjadi yang terbaik tapi ternyata ia mendapat posisi ketiga. Betapa
hancur hatinya, apalagi kedua orang tuanya, yang menaruh harapan besar bahwa
Syifa akan selalu menjadi yang terbaik.
Hal itu pun berlalu,
perjalanan hidup Syifa memasuki babak baru. Namun, tidak ada perubahan yang
berarti dalam kemantapan hatinya untuk berhijab, bukan hanya ketika di sekolah
tapi dimanapun ia berada. Rasa yang membuatnya semakin terperosok ke dalam
dilema yang teramat sangat.
Beberapa waktu telah
berlalu, Syifa akhirnya melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMA. Ia ditermia
di SMA terbaik di wilayah kabupaten. Sekolah yang menjadi dambaan setiap orang.
Namun, terbentur biaya yang tidak murah, awal masuk sudah diwajibkan membayar
sejumlah uang yang terbilang fantastis. Sempat terucap dari sang ibu, “ kamu
kerja saja ya nak, menyusul kakak mu di surabaya!” ujar sang ibu dengan sedikit
resah. “ Bu, cita-cita ku adalah menjadi seorang guru, bagaimana aku bisa
mencapai itu jika saat ini engkau menyuruhku menyerah!”, jawab Syifa sambil
menangis. Memang cita-citanya adalah menjadi seorang guru. Bagi Syifa tidak ada
kata menyerah sebelum berjuang hingga akhir. Kedua orang tuanya paham akan hal
itu, sebagai orang tua mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sang buah
hati.
Namun, lagi-lagi
tangan Allah tak pernah melepaskan hambanya barang sebentar. Berbekal niat yang
tulus, dan keyakinan yang kuat. Allah Swt. menghendaki Syifa untuk bisa
sekolah. Beruntung sang kakak berkenan membantu semua biaya sekolahnya, meski
harus meminjam uang di tempatnya bekerja, rasa syukur yang tidak terkira.
Keajaiban demi keajaiban yang luar biasa ia rasakan semenjak dirinya memakai
jilbab, meskipun ketika di sekolah saja. Seiring berjalannya waktu, langkahnya
semakin menuju kepada ambisi untuk selalu menjadi yang terbaik, berusaha
menjadi orang yang berada di atas dari orang lain. Memang Syifa anak yang
cerdas, pandai bergaul dan baik hati. Selama SMA ia aktif baik dibidang
akademik maupun di organisasi. Prestasi demi prestasi ia timbun sebagai sebuah
pencapaian yang luar biasa.
Begitu seterusnya,
hingga pada suatu hari Syifa jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Hal
yang paling mengejutkaan adalah ternyata Syifa menderita gagal ginjal.
Terguncang, takut dan rasa tak percaya memenuhi segala sudut hati dan pikiran
semua orang. Anak yang selama ini menjadi anak yang aktif, ceria dan jauh dari
kesan orang yang sedang sakit parah. Subhanallah... itulah kuasa Ilahi, yang
menampakkan dan menyembunyikan sesuatu dari makhlukNya. Perasaan kalut myelimuti
hati Syifa, yang ia pikirkan hanya kematian dan kematian. Selama Ia sakit, yang
terus teringat di benaknya ialah kata-kata seorang gurunya ketika duduk
dibangku SMP, bawa ketika seorang muslimah tidak menutup auratnya maka siksa
siap menghampirinya dan rasa bimbang masih saja menggelayuti hatinya.
Keadaan Syifa
semakin hari semakin membaik. Dan ia diijinkan untuk kembali ke rumah, dan
bersekolah seperti biasanya. Kondisi rumah yang jauh dari sekolah mnyebabkan
kedua orang tuanya menitipkan Syifa dengan salah satu teman yang kebetulan
tinggal di dekat sekolah Syifa. Apa mau dikata, angkutan umum di daerah Syifa
terbilang jarang dan biaya transportasi yang semakin mahal. Namun, baru
beberapa hari masuk sekolah Syifa kembali jatuh sakit, tetapi kali ini tidak
separah sebelumnya. Hanya saja ia harus istirahat dan tidak boleh beraktivitas
seberat biasanya.
Hari terus berlalu,
kebosanan mulai merambahi keseharian Syifa. Pagi itu tidak seperti biasanya,
Syifa pergi ke mushola yang tepat berada di depan kelasnya. Perlahan ia
berjalan untuk mengambil air wudhu, kesejukan meresap hingga ke dalam hatinya,
ketenangan mulai ia rasakan ketika tetesan air pertama mengenai tangannya.
Seketika air matanya menetes dan terjatuh, tangis tak tertahankan lagi. Ia
berjalan menuju sebuah lemari dan mengambil lipatan alat shalat. Dengan rasa
gemetar ia mulai mengangkat tangannya. Dengan penuh kekhusyukan ia merunuti
gerakan demi gerakan yang membuat tubuh terasa tenang dan damai. Tak sadar ia,
sudah hampir satu jam ia berdiam diri di dalam mushola.
Syifa yang setiap
hari-harinya ia habiskan untuk maraton mengejar segala bentuk prestasi, kini ia
memilih untuk berdiam di mushola dan melakukan segala bentuk ibadah. Karena
baginya ketenangan ia dapatkan ketika ia mendekatkan diri kepada “ Sutradara
Agung kehidupan, Allah Swt.” Pada saat
Syifa sedang duduk sendiri di sudut ruang sempti, tempat jajaran buku tersusun
di dalam mushola, seseorang datang menghampirinya. Subhanallah, seorang wanita
berjilbab anggun menyapanya yang ternyata dia adalah kakak kelas Syifa. Sebut
saja Afifa, seorang aktivis sekolah. Ia adalah pengurus “Rohis Al- Bayan”, yaitu
sebuah organisasi rohani Islam di sekolah Syifa. Dengan lembut ia menyapa dan
bertanya, “ Assalamu’ alaykum, wahai
ukhti.. kenapa engkau begitu muram?”. Syifa menjawab dengan seketika karena
terkejut dengan kehadiran Afifa, “ Wa’alaykumsalam,
eh... aku hanya sedang merenungkan perjalanan hidupku selama ini yang rasanya
serba serbi!”. Obrolan terus berlanjut hingga bel masuk berbunyi dan
memaksa keduanya untuk mengakhiri segala bentuk cengkramanya. Dan mereka berdua
memutuskan untuk bertemu lagi seusai sekolah di tempat yang sama.
Dan setelah jam
sekolah uasi, mereka kembali bertemu. Banyak hal yang mereka bicarakan, Syifa
pun menceritakan tentang kebimbangan dan keawamannya tentang berhijab dan
berjilbab. “Mba! Begini saya itu orangnya
susah untuk berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sebut saja dalam
hal berbusana. Saya lebih suka dengan yang simpel, tapi disisi lain ada suara
dalam hati yang meminta saya untuk mengenakan jilbab seutuhnya, tidak hanya
ketika sekolah tetapi kapan pun dan dimanapun saya berada!”. Dengan senyum
yang tersungging, Afifa menjawab, “Assyifa,
seorang wanita muslim wajib menutupi auratnya termsuk rambutmu, seindah apapun
itu jika dapat menimbulkan maksiat maka hanya akan menjadi bahan bakar
neraka!”. Rasa ketertarikan Syifa untuk terus bertanya, “ lalu bagaimana dengan niat, bukan kah segala
sesuat harus dimulai dengan niat yang lurus?”. “ Benar sekali apa yang kamu katakan ukhti,
setiap ibadah dan setiap apa yang kita lakukan tergantung dengn niat kita!”.
Sedikit kegalauan di hati Syifa mulai menghilang, rasa penasaran pun mulai
terjawab. Afifa pun menyarankan Syifa untuk ikut organisasi ROHIS dan tanpa
berpikir ini itu, Syifa mengiyakan ajakan Afifa.
Beberapa hari
kemudian, Syifa mendapat tawaran untuk mengikuti lomba bidang sains, sebagai
wakil dari sekolahnya dalam kompetisi Intersasional tingkat SMA di Australia.
Mengejutkan sekali, Syifa berpikir niatnya berjilbab dihadiahkan ini oleh
Allah. Tidak mau ambil pusing, ia menerima tawaran itu. Dua bulan ia menjalani
latihan dan persiapan bersama gurunya dan teman-teman yang lain yang berasal
dari berbagai wilayah di Indonesia. Akhirnnya, saat-saat yang ia tunggu tiba
juga. Bersama robongan Syifa berangkat dengan menggunakan pesawat terbang,
takjubnya ia karena pertama kalinya ia naik pesawat. Beberapa jam perjalanan,
baginya baru saja take off tapi kok
sudah landing. Sangking asyiknya
menikmati perjalanan. Setibanya di bandara, rombongan lagsung menuju tempat
penginapan, setelah sampai dan hendak istirahat Syifa bertemu dengan seorang
wanita yang umurnya sebaya. Ternyata di juga peserta lomba itu, ia telan
ludahnya berkali-kali karena melihat lawan-lawannya yang tinggi besar, bule
lagi. Gadis itu mengajak berkenalan, Syifa senang sekali, pikirnya kapan lagi
bisa kenalan sama bule, aduh gawat-gawat. Gadis itu bernama joy, “are you
moeslim?” Lalu Syifa menjawab, “ iya, bagaimana kamu bisa tahu?”, “I know, kamu
memakai kain di kepala, but, why you wear it?”. Pertanyaan yang menggelitik
tapi serius, “karena ini kewajiban bagi setiap wanita muslim!” begitu jawab
Syifa karena bingung.
Di tengah percakapan,
guru Syifa memanggilnya agar segera masuk kamar dan beristirahat. Syifa
melangkah pergi dan gadis itu terus saja memandangi dengan wajah yang masih
penuh dengan pertanyaan. Syifa menjadi tahu, jilbab menjadi salah satu
identiitas muslim ketika berada di lingkungan yang bukan muslim. Hari
perlombaan telah tiba, dengan penuh ketegangan Syifa menanti perlombaan
dimulai, dan 15 menit kemudian perlombaan dimulai, awalnya memang merasa
sedikit tegang, tetapi lama-lama ia mulai santai dan menikmati setiap butir
soal yang terbilang sangat sulit, bahsa Inggris pula. Putar otak dua kali...
Setelah 2 jam,
perlombaan selesai dan ada waktu 30 menit untuk istirahat sebelum hasil lomba
diumumkan. Syifa mengisi waktu istirahatnya untuk melakukan shalat Duha. Dan..,
hasil pun diumumkan, dengan jantung yang berdebar tidak karuan, keringat dingin
membasahi baju Syifa, terkejut ia ketika namanya disebut sebagai pemenang
perlombaan, meskipun hanya predikat CREDIT, tapi itu merupakan pencapaian yang
luar biasa baginya. Sekali lagi, Syifa merasa jilbab tak lantas membatsinya
untuk berprestasi, terlebih lagi di negara mayoritas bukan muslim. Padahal
sempat terbesit, akan menjadi terkucil diantara orang-orang yang berasal dari
negara-negara besar.
Setelah kembai ke
rumah, semua berjalan seperti biasanya. Melaksanakan aktivitas sehari-hari dan
tentunya kembali ke sekolah. Kemantapan untuk berhijab mulai hadir dalam hati
Syifa, dengan perlahan ia mulai nyaman dengan keputusannya untuk berjilbab yang
seutuhnya. Awalnya kerena memang di organisasi ROHIS semua muslimah mengenakan
jilbab, aliyas jilbaber membuat Syifa harus mengikuti keadaan itu. Hari demi
hari berlalu, tanpa jejak yang berarti. Prestasi Syifa kembali menurun,
kesehatan sering terganggu. Hingga klimaksnya, Syifa jatuh sakit karena
penyakitnya kembali kambuh. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Dokter
menyarankan agar Syifa segera dioperasi pencangkokan ginjal, alasannya kerena
satu ginjalnya sudah rusak dan tidak lagi berfungsi. Terpukul, itulah yang
dirasakan keluarga Syifa, begitu juga dengan teman-teman serta guru-guru Syifa
yang tidak menyangka hal ini terjadi separah itu.
Beberapa waktu dan
memakan banyak tenaga, rumah sakit
mencarikan donor ginjal yang cocok untuk Syifa, akhirnya mereka menemukan.
Ketegangan mulai terasa di lobi rumah sakit, menanti saat-saat yang paling
menakutkan ketika gunting dan pisau tajam siap melukai bagian tubuh Syifa. Doa
terus mengalir, dan operasi pun siap untuk dilaksanakan. Belum sampai 10 menit,
para dokter sudah keluar ruangan. Mereka mengatakan bahwa Syifa tidak jadi
dioperasi, karena setelah dicek ulang kondisi ginjalnya baik-baik saja. Suatu
keajaiban yang luar biasa dan merupakan bentuk kasih-Nya, ajal yang telah hadir
sejengkal demi sejengkal seketika saja pergi tanpa pamit apalagi bekas. Syifa
yang semula bagai manusia tak bernyawa, kini ia dalam keadaan yang sehat, luar
biasa. Betapa bersyukurnya semua orang, meski masih terheran- heran dengan
keadaan yang begitu tiba-tiba.
Hari-hari Syifa
kembali seperti semula, dengan adanya banyak kejadian yang diluar nalar.
Teguran demi teguran, pertolongan demi pertolongan yang ia dapatkan membuat
Syifa yakin untuk mengenakan jilbab. Bukan karena dipaksa dan merasa terpaksa,
hanya saja ia merasa semua yang terjadi karena Allah ingin meyakinkan bahwa
Syifa harus terbiasa dengan jilbab, dan menjadikannya sebagai sebuah niatan
karena Allah, bukan karena tuntutan keadaan atau orang lain bahkan hanya
gara-gara nilai.
Tiga tahun sudah
Syifa menempuh pendidikannya di bangku SMA, keinginannya untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi agaknya mengalami banyak liku. Lagi-lagi masalah
uang, tapi sekali lagi Syifa yakin bahwa Allah tak kan membiarkan hambaNya dalam
kesusahan. Kesana kemari mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah, ternyata ia
dinyatakan berhak untuk mengikuti seleksi berkas beasiswa dari pemerintah untuk
bisa lanjut kulian tanpa biaya. Dan yang
paling membahagiakan ia lolos seleksi dan ternyata Syifa juga diterima di salah
satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ya.. Universitas Gadjah Mada, Syifa
diterima di Fakultas Peternakan. Jurusan yang benar-benar jauh dari bayangan
Syifa sebelumnya. Mulanya ia ingi kuliah di jurusan pendidikan, tapi apa mau dikata,
Allah berkehendak lain. Seiring berjalannya waktu, Syifa menyadari bahwa inilah
jalan yang terbaik yang Allah pilihkan,memang tak selalu Allah memberikan apa
yang manusia inginkan tetapi Allah selalu memberikan apa yang hambanya
benar-benar butuhkan.
Takjub, perasaan
yang dirasa Syifa ketika pertama kali berada di lingkungan kampus Fapet.
Orang-orang yang berada di sana, mayoritas mengenakan jilbab. Kuliah dengan
pakaian yang sederhana yang jauh dari apa yang diperkirakan Syifa selama ini.
Orang-orang yang ramah dan bersahabat, semakin menguatkan hati Syifa untuk
berjilbab dan berhijab yang sebenar-benarnya. Syifa mulai nyaman dengan pakian
yang menurut kebanyakan orang ‘ribet’. Dengan keadaan barunya itu, Syifa mulai
memperbaiki dirinya, cap sebagai seorang muslimah berjilbab membuatnya merasa
harus menjaga sikapnya, tidik bisa seperti dulu. Membatasi dirinya dari
pergaulan dengan lawan jenis, mejaga kehormatan dirinya. Syifa mulai merasakan
banyak kebaikan yang ia dapatkan setelah berjilbab, rasa nyaman, merasa aman,
dihargai dan tidak dilecehkan.
Semenjak Syifa
memutusakan untuk berjilbab, banyak sikap dan sifat yang berubah menjadi lebih
baik. Apalagi lingkungan sekitar yang sangat mendukungnya untuk bisa menjadi orang
yang lebih baik. Baginya, wanita soleha adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
Selalu mencoba dan berusaha untuk menjaga diri dalam keistiqomahannya,
melengkah dengan kelembutan hatinya.
Ada dua hal yang
mulanya memotivasi Syifa untuk berjilbab yang merupakan kewajiban bagi wanita
muslim, yaitu satu rasa takut, cinta dan terimakasihnya kepada Allah Swt serta
karena bertubi-tubi berkah yang ia dapatkan karena berjilbab dan berhijab.
Wallahualam.. manusia hanya bisa berencana namun Allah-lah sang sutradara
Agung. Manusia hanya bisa meminta, tapi Allah-lah yang Mahakaya, yang berhak
memutuskan apakah kita layak untuk mendapatkan apa yang kita mintakan dan apa
yang kita inginkan. Merasa dekat dengaNya, merasa terjaga karena jilbab salah
satu cara wanita menjaga syariat Allah Swt.
Wanita itu istimewa,
maka istimewakanlah dirimu
Semua menjaganya,
tak dibiarkan sedikit saja terluka
Begitu istimewanya
ia, hingga bidadari pun turut menjaganya
Kecantikan hati yang
terpancar dari teraturnya jilbab yang tersurai
Dunia menghargai,
dunia menghormati dan dunia bangga padanya
Bukan perkara mudah
memutuskan untuknya
Tapi hanya mereka
yang tahu yang mantap untuk menempuhnya
Mulanya mungkin
karena dipaksa
Menjadikan hati dan
jiwa terpaksa menjalaninya
Namun, pada akhirnya
Allah membuatnya terbiasa
Inilah TRIAS
JILBABKUhati bergetar karenanya
Komentar
Posting Komentar