Trias Jilbab Ku! bergetar hati karenanya


Dulu Dipaksa
Jadi Terpaksa
Sekarang Terbiasa

Mentari tersenyum tatkala menyaksikan muslimah berjalan dengan surai hijabnya...
Kecantikan yang tersebunyi tak lantas membuatnya terkubur peradaban...
Kelembutan yang tersirat dari keanggunan, kelembutan dan kemantapan hatinya...
Menyejukan keringnya dunia ini dengan wanita dambaan syurga...

Panggil saja dia Assyifa, gadis tomboi yang lahir tanggal 25 Februari 1994, waktu itu tepat bulan Ramadhan. Tepat jam 12.00 WIB, pada hari jum’at dia hadir ke dunia, Subhanallah pecah tangis bahagia menyambutnya. Alangkah bahagia kedua orang tuanya, akhirnya putri keduanya lahir dengan keadaan yang lengkap tanpa cacat. Luar biasa, dengan penuh kasih sayang ayah dan ibunya merawat dan memberi segala kasihnya. Semakin hari, semakin beranjak ia ke usia belia. Assyifa adalah anak yang cerdas, prestasinya sudah terlihat semenjak ia mulai sekolah di taman kanak-kanak. Dari TK ia selalu menjadi juara umum, itu berlangsung sampai ia lulus dari sekolah dasar. Sungguh suatu kebanggaan bagi kedua orang tuanya. Penghargaan demi penghargaan ia dapatkan selama duduk di sekolah dasar.
Percaya tidak? Assyifa baru bisa shalat dan mengaji ketika ia hendak lulus dari sekolah dasar, itu pun karena akan ujian sekolah dan mengharuskannya bisa berwudlu, shalat dan membaca Al-Qur’an. Upaya keras lho...untuk dia!. Meski awalnya karena terpaksa.
Akhirnya, Assyifa lulus dari sekolah dasar dan masuk SMP favorit tanpa tes, pencapaian yang luar biasa baginya. Terkejutnnya ia, ketika di SMP ada salah satu guru agama, yang kalau anak gaul sekarang bilang killer . bagaimana tidak, setiap pelajaran agama semua siswa diwajibkan untuk menghafalkan juz ama lengkap dengan artinya. Jika tidak siap-siap saja menerima door-prize “nyuci kamar mandi” Subhanallah, sanksi yang ada manfaatnya untuk orang banyak. Sudah-sudah lupakan masalah hafalan, satu hal lagi yang membuat Assyifa geram tingkat dewa (bahasa anak sekarang=alay), setiap hari tellinnganya disela dengan penggaris. “wah... kasian nih rambutnya bagus, tapi sayangnya bakal jadi bahan bakar neraka!” ujar pak Umar, guru Agama Islam. Assyifa seketika tersentak dan tertunduk, hanya diam. Gurunya berkata lagi, “tahu tidak, wanita yang sudah baligh wajib menutup auratnya, karena jika tidak,,, di neraka nanti rambutnya akan menggantungnya di atas bara api!”, sambil berlalu meninggalkan Assyifa. Assyifa hanya tertunduk diam, dan merenungkan apa yang dikatakan oleh gurunya. Kejadian itu berulang setiap hari, selama ia duduk di kelas 1. Sebuah peristiwa yang membuatnya sempat terpuruk, ketika pengumuman kenaikan kelas ia mendapati dirinya tidak terdapat diantara deretan nama yang menjadi 3 besar juara umum. Alangkah sedih dan kecewanya ia, hari-harinya berlalu seperti tanpa nyawa. Berjalan seolah tanpa tapak yang membekas. Ketika ia mengabarkan berita itu kepada kedua orang tuanya, alangkah kecewanya mereka. Sempat kedua orang tuanya marah, tapi pada akhirnya mereka sadar bahwa Assyifa sedang beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dengan orang-orang yang baru dan dengan sistem yang baru.
Lelah, itulah yang ia rasakan. Matanya yang tak dapat lagi menahan kantuk, punggung yang tak lagi sanggup menopang tubuh yang letih. Memaksanya untuk tertidur di atas sebuah kursi kayu, tersandar di dinding ruang tamu selepasnya ia mengerjakan tugas sekolah. Ketika lelap mulai menjaganya, ia bermimpi. Datanglah seorang lelaki paruh baya menghampirinya yang tengah asyik bermain. Laki-laki itu menyapanya lembut, “hei nak, sedang apa di sini?” tanya laki-laki itu sambil menepuk pundak syifa dari arah belakang. Syifa tentu saja terkejut, sontak berbalik arah. “saya sedang bermain pak!”, lalu laki-laki itu berkata lagi, “apakah kamu mendengar suara adzan? Kenapa kamu tidak berhenti bermain dan pergi untuk sembahyang (shalat)?”. “iya pak, nanti dulu!” ujar Syifa. Laki-laki itu bertanya lagi, “sepertinnya kamu sadang gundah, ada apakah nak?”. “ aku hanya sedang berfikir tentang ucapan guruku, bahwa aku harus memakai jilbab jika tidak ingin digantung di neraka!”. Lalu laki-laki itu berucap untuk terakhir kali, “fikirkan, renungkan dan putuskan!”. Syifa terbangun, dan langsung berlari kerena sudah pagi dan saatnya untuk pergi sekolah.
Hari-hari di sekolah terasa begitu panjang baginya, karena pikirnya masih terpaut dengan mimpinya semalam. Bel masuk berbunyi, tepat hari itu adalah pelajaran agama. Memang hari yang sangat menakutkan bagi syifa. Tumben hari itu guru agamanya tidak melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi satu kalimat yang membuat syifa sontak menahan napasnya, “jika kalian ingin nilai bagus pada mata pelajaran Agama Islam, maka setiap hari wajib membawa alat shalat untuk shalat berjamaah di sekolah dan bagi yang putri harus menggunakan jilbab!”. Sontak gaduh memecah suasana, terkejut itulah yang syifa rasakan. Semua perkataan sang guru selalu melekat di kelopak matanya, yang meski terpejam masih saja terlihat dengan jelas.
Pada suatu hari, ia memutuskan untuk memakai jilbab. Syifa mengutarakan niatnya itu kepada ayah dan ibunya. Keinginannya tentu saja disambut hangat oleh kedua orang tuanya, “Subhanallah nak, benarkah niatmu itu?” tanya ayah. “tapi nak, ayah dan ibu tak punya uang untuk membuatkanmu seragam baru!” tambah ibu. “sebenarnya aku juga tidak mau memakai jilbab, selain repot aku juga tahu ibu tidak ada uang untuk membayar uang sekolah aja ibu harus ikut bekerja di kebun orang, tapi karena berpengaruh pada nilai agama, mau tidak mau bu,,!”.
Sungguh kuasa Allah begitu besar, setiap niat baik pasti akan diberikan jalan . Terbukti, Assyifa mendapat beasiswa 300 ribu setiap bulannya. Sungguh sutau karunia yang besar, baru berniat saja sudah mendapat kebaikan. Waktu terus berjalan, tetapi hatinya belum belum juga mantap dengan keputusannya untuk mengenakan jilbab. Ya.. hanya di sekolah saja Syifa mengenakan jilbabnya, begitu tiba di rumah ia tanggalkan penutup itu. Maklum saja gadis tomboy itu tidak terbiasa dengan pakaian yang serba panjang. Sang ibu memakluminya, tapi ada sedikit kekecewaan yang hadir di hatinya. Ia merasa belum bisa melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yang baik.
Di tengah kebimbangannya itu, Syifa bertekad untuk belajar keras dan memperbaiki nilai-nilainya kemarin. Perjuangannya dihargai oleh Allah, Ia kembali meraih posisi terbaiknya. Syifa menjadi siswa terbaik di sekolahnya. Persaingan begitu terasa diantara Syifa dengan teman-temannya. Hingga pada suatu hari, pada saat pengumuan hasil ujiannya ternyata hasilnya jauh dari harapan, yang ia inginkan adalah menjadi yang terbaik tapi ternyata ia mendapat posisi ketiga. Betapa hancur hatinya, apalagi kedua orang tuanya, yang menaruh harapan besar bahwa Syifa akan selalu menjadi yang terbaik.
Hal itu pun berlalu, perjalanan hidup Syifa memasuki babak baru. Namun, tidak ada perubahan yang berarti dalam kemantapan hatinya untuk berhijab, bukan hanya ketika di sekolah tapi dimanapun ia berada. Rasa yang membuatnya semakin terperosok ke dalam dilema yang teramat sangat.
Beberapa waktu telah berlalu, Syifa akhirnya melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMA. Ia ditermia di SMA terbaik di wilayah kabupaten. Sekolah yang menjadi dambaan setiap orang. Namun, terbentur biaya yang tidak murah, awal masuk sudah diwajibkan membayar sejumlah uang yang terbilang fantastis. Sempat terucap dari sang ibu, “ kamu kerja saja ya nak, menyusul kakak mu di surabaya!” ujar sang ibu dengan sedikit resah. “ Bu, cita-cita ku adalah menjadi seorang guru, bagaimana aku bisa mencapai itu jika saat ini engkau menyuruhku menyerah!”, jawab Syifa sambil menangis. Memang cita-citanya adalah menjadi seorang guru. Bagi Syifa tidak ada kata menyerah sebelum berjuang hingga akhir. Kedua orang tuanya paham akan hal itu, sebagai orang tua mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sang buah hati.
Namun, lagi-lagi tangan Allah tak pernah melepaskan hambanya barang sebentar. Berbekal niat yang tulus, dan keyakinan yang kuat. Allah Swt. menghendaki Syifa untuk bisa sekolah. Beruntung sang kakak berkenan membantu semua biaya sekolahnya, meski harus meminjam uang di tempatnya bekerja, rasa syukur yang tidak terkira. Keajaiban demi keajaiban yang luar biasa ia rasakan semenjak dirinya memakai jilbab, meskipun ketika di sekolah saja. Seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin menuju kepada ambisi untuk selalu menjadi yang terbaik, berusaha menjadi orang yang berada di atas dari orang lain. Memang Syifa anak yang cerdas, pandai bergaul dan baik hati. Selama SMA ia aktif baik dibidang akademik maupun di organisasi. Prestasi demi prestasi ia timbun sebagai sebuah pencapaian yang luar biasa. 
Begitu seterusnya, hingga pada suatu hari Syifa jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Hal yang paling mengejutkaan adalah ternyata Syifa menderita gagal ginjal. Terguncang, takut dan rasa tak percaya memenuhi segala sudut hati dan pikiran semua orang. Anak yang selama ini menjadi anak yang aktif, ceria dan jauh dari kesan orang yang sedang sakit parah. Subhanallah... itulah kuasa Ilahi, yang menampakkan dan menyembunyikan sesuatu dari makhlukNya. Perasaan kalut myelimuti hati Syifa, yang ia pikirkan hanya kematian dan kematian. Selama Ia sakit, yang terus teringat di benaknya ialah kata-kata seorang gurunya ketika duduk dibangku SMP, bawa ketika seorang muslimah tidak menutup auratnya maka siksa siap menghampirinya dan rasa bimbang masih saja menggelayuti hatinya.
Keadaan Syifa semakin hari semakin membaik. Dan ia diijinkan untuk kembali ke rumah, dan bersekolah seperti biasanya. Kondisi rumah yang jauh dari sekolah mnyebabkan kedua orang tuanya menitipkan Syifa dengan salah satu teman yang kebetulan tinggal di dekat sekolah Syifa. Apa mau dikata, angkutan umum di daerah Syifa terbilang jarang dan biaya transportasi yang semakin mahal. Namun, baru beberapa hari masuk sekolah Syifa kembali jatuh sakit, tetapi kali ini tidak separah sebelumnya. Hanya saja ia harus istirahat dan tidak boleh beraktivitas seberat biasanya.
Hari terus berlalu, kebosanan mulai merambahi keseharian Syifa. Pagi itu tidak seperti biasanya, Syifa pergi ke mushola yang tepat berada di depan kelasnya. Perlahan ia berjalan untuk mengambil air wudhu, kesejukan meresap hingga ke dalam hatinya, ketenangan mulai ia rasakan ketika tetesan air pertama mengenai tangannya. Seketika air matanya menetes dan terjatuh, tangis tak tertahankan lagi. Ia berjalan menuju sebuah lemari dan mengambil lipatan alat shalat. Dengan rasa gemetar ia mulai mengangkat tangannya. Dengan penuh kekhusyukan ia merunuti gerakan demi gerakan yang membuat tubuh terasa tenang dan damai. Tak sadar ia, sudah hampir satu jam ia berdiam diri di dalam mushola.
Syifa yang setiap hari-harinya ia habiskan untuk maraton mengejar segala bentuk prestasi, kini ia memilih untuk berdiam di mushola dan melakukan segala bentuk ibadah. Karena baginya ketenangan ia dapatkan ketika ia mendekatkan diri kepada “ Sutradara Agung kehidupan, Allah Swt.”  Pada saat Syifa sedang duduk sendiri di sudut ruang sempti, tempat jajaran buku tersusun di dalam mushola, seseorang datang menghampirinya. Subhanallah, seorang wanita berjilbab anggun menyapanya yang ternyata dia adalah kakak kelas Syifa. Sebut saja Afifa, seorang aktivis sekolah. Ia adalah pengurus “Rohis Al- Bayan”, yaitu sebuah organisasi rohani Islam di sekolah Syifa. Dengan lembut ia menyapa dan bertanya, “ Assalamu’ alaykum, wahai ukhti.. kenapa engkau begitu muram?”. Syifa menjawab dengan seketika karena terkejut dengan kehadiran Afifa, “ Wa’alaykumsalam, eh... aku hanya sedang merenungkan perjalanan hidupku selama ini yang rasanya serba serbi!”. Obrolan terus berlanjut hingga bel masuk berbunyi dan memaksa keduanya untuk mengakhiri segala bentuk cengkramanya. Dan mereka berdua memutuskan untuk bertemu lagi seusai sekolah di tempat yang sama.
Dan setelah jam sekolah uasi, mereka kembali bertemu. Banyak hal yang mereka bicarakan, Syifa pun menceritakan tentang kebimbangan dan keawamannya tentang berhijab dan berjilbab. “Mba! Begini saya itu orangnya susah untuk berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sebut saja dalam hal berbusana. Saya lebih suka dengan yang simpel, tapi disisi lain ada suara dalam hati yang meminta saya untuk mengenakan jilbab seutuhnya, tidak hanya ketika sekolah tetapi kapan pun dan dimanapun saya berada!”. Dengan senyum yang tersungging, Afifa menjawab, “Assyifa, seorang wanita muslim wajib menutupi auratnya termsuk rambutmu, seindah apapun itu jika dapat menimbulkan maksiat maka hanya akan menjadi bahan bakar neraka!”. Rasa ketertarikan Syifa untuk terus bertanya, “ lalu bagaimana dengan niat, bukan kah segala sesuat harus dimulai dengan niat yang lurus?”. “  Benar sekali apa yang kamu katakan ukhti, setiap ibadah dan setiap apa yang kita lakukan tergantung dengn niat kita!”. Sedikit kegalauan di hati Syifa mulai menghilang, rasa penasaran pun mulai terjawab. Afifa pun menyarankan Syifa untuk ikut organisasi ROHIS dan tanpa berpikir ini itu, Syifa mengiyakan ajakan Afifa.
Beberapa hari kemudian, Syifa mendapat tawaran untuk mengikuti lomba bidang sains, sebagai wakil dari sekolahnya dalam kompetisi Intersasional tingkat SMA di Australia. Mengejutkan sekali, Syifa berpikir niatnya berjilbab dihadiahkan ini oleh Allah. Tidak mau ambil pusing, ia menerima tawaran itu. Dua bulan ia menjalani latihan dan persiapan bersama gurunya dan teman-teman yang lain yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Akhirnnya, saat-saat yang ia tunggu tiba juga. Bersama robongan Syifa berangkat dengan menggunakan pesawat terbang, takjubnya ia karena pertama kalinya ia naik pesawat. Beberapa jam perjalanan, baginya baru saja take off tapi kok sudah landing. Sangking asyiknya menikmati perjalanan. Setibanya di bandara, rombongan lagsung menuju tempat penginapan, setelah sampai dan hendak istirahat Syifa bertemu dengan seorang wanita yang umurnya sebaya. Ternyata di juga peserta lomba itu, ia telan ludahnya berkali-kali karena melihat lawan-lawannya yang tinggi besar, bule lagi. Gadis itu mengajak berkenalan, Syifa senang sekali, pikirnya kapan lagi bisa kenalan sama bule, aduh gawat-gawat. Gadis itu bernama joy, “are you moeslim?” Lalu Syifa menjawab, “ iya, bagaimana kamu bisa tahu?”, “I know, kamu memakai kain di kepala, but, why you wear it?”. Pertanyaan yang menggelitik tapi serius, “karena ini kewajiban bagi setiap wanita muslim!” begitu jawab Syifa karena bingung.
Di tengah percakapan, guru Syifa memanggilnya agar segera masuk kamar dan beristirahat. Syifa melangkah pergi dan gadis itu terus saja memandangi dengan wajah yang masih penuh dengan pertanyaan. Syifa menjadi tahu, jilbab menjadi salah satu identiitas muslim ketika berada di lingkungan yang bukan muslim. Hari perlombaan telah tiba, dengan penuh ketegangan Syifa menanti perlombaan dimulai, dan 15 menit kemudian perlombaan dimulai, awalnya memang merasa sedikit tegang, tetapi lama-lama ia mulai santai dan menikmati setiap butir soal yang terbilang sangat sulit, bahsa Inggris pula. Putar otak dua kali...
Setelah 2 jam, perlombaan selesai dan ada waktu 30 menit untuk istirahat sebelum hasil lomba diumumkan. Syifa mengisi waktu istirahatnya untuk melakukan shalat Duha. Dan.., hasil pun diumumkan, dengan jantung yang berdebar tidak karuan, keringat dingin membasahi baju Syifa, terkejut ia ketika namanya disebut sebagai pemenang perlombaan, meskipun hanya predikat CREDIT, tapi itu merupakan pencapaian yang luar biasa baginya. Sekali lagi, Syifa merasa jilbab tak lantas membatsinya untuk berprestasi, terlebih lagi di negara mayoritas bukan muslim. Padahal sempat terbesit, akan menjadi terkucil diantara orang-orang yang berasal dari negara-negara besar.
Setelah kembai ke rumah, semua berjalan seperti biasanya. Melaksanakan aktivitas sehari-hari dan tentunya kembali ke sekolah. Kemantapan untuk berhijab mulai hadir dalam hati Syifa, dengan perlahan ia mulai nyaman dengan keputusannya untuk berjilbab yang seutuhnya. Awalnya kerena memang di organisasi ROHIS semua muslimah mengenakan jilbab, aliyas jilbaber membuat Syifa harus mengikuti keadaan itu. Hari demi hari berlalu, tanpa jejak yang berarti. Prestasi Syifa kembali menurun, kesehatan sering terganggu. Hingga klimaksnya, Syifa jatuh sakit karena penyakitnya kembali kambuh. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Dokter menyarankan agar Syifa segera dioperasi pencangkokan ginjal, alasannya kerena satu ginjalnya sudah rusak dan tidak lagi berfungsi. Terpukul, itulah yang dirasakan keluarga Syifa, begitu juga dengan teman-teman serta guru-guru Syifa yang tidak menyangka hal ini terjadi separah itu.
Beberapa waktu dan memakan banyak tenaga,  rumah sakit mencarikan donor ginjal yang cocok untuk Syifa, akhirnya mereka menemukan. Ketegangan mulai terasa di lobi rumah sakit, menanti saat-saat yang paling menakutkan ketika gunting dan pisau tajam siap melukai bagian tubuh Syifa. Doa terus mengalir, dan operasi pun siap untuk dilaksanakan. Belum sampai 10 menit, para dokter sudah keluar ruangan. Mereka mengatakan bahwa Syifa tidak jadi dioperasi, karena setelah dicek ulang kondisi ginjalnya baik-baik saja. Suatu keajaiban yang luar biasa dan merupakan bentuk kasih-Nya, ajal yang telah hadir sejengkal demi sejengkal seketika saja pergi tanpa pamit apalagi bekas. Syifa yang semula bagai manusia tak bernyawa, kini ia dalam keadaan yang sehat, luar biasa. Betapa bersyukurnya semua orang, meski masih terheran- heran dengan keadaan yang begitu tiba-tiba.
Hari-hari Syifa kembali seperti semula, dengan adanya banyak kejadian yang diluar nalar. Teguran demi teguran, pertolongan demi pertolongan yang ia dapatkan membuat Syifa yakin untuk mengenakan jilbab. Bukan karena dipaksa dan merasa terpaksa, hanya saja ia merasa semua yang terjadi karena Allah ingin meyakinkan bahwa Syifa harus terbiasa dengan jilbab, dan menjadikannya sebagai sebuah niatan karena Allah, bukan karena tuntutan keadaan atau orang lain bahkan hanya gara-gara nilai.
Tiga tahun sudah Syifa menempuh pendidikannya di bangku SMA, keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi agaknya mengalami banyak liku. Lagi-lagi masalah uang, tapi sekali lagi Syifa yakin bahwa Allah tak kan membiarkan hambaNya dalam kesusahan. Kesana kemari mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah, ternyata ia dinyatakan berhak untuk mengikuti seleksi berkas beasiswa dari pemerintah untuk bisa lanjut kulian tanpa biaya.  Dan yang paling membahagiakan ia lolos seleksi dan ternyata Syifa juga diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ya.. Universitas Gadjah Mada, Syifa diterima di Fakultas Peternakan. Jurusan yang benar-benar jauh dari bayangan Syifa sebelumnya. Mulanya ia ingi kuliah di jurusan pendidikan, tapi apa mau dikata, Allah berkehendak lain. Seiring berjalannya waktu, Syifa menyadari bahwa inilah jalan yang terbaik yang Allah pilihkan,memang tak selalu Allah memberikan apa yang manusia inginkan tetapi Allah selalu memberikan apa yang hambanya benar-benar butuhkan.
Takjub, perasaan yang dirasa Syifa ketika pertama kali berada di lingkungan kampus Fapet. Orang-orang yang berada di sana, mayoritas mengenakan jilbab. Kuliah dengan pakaian yang sederhana yang jauh dari apa yang diperkirakan Syifa selama ini. Orang-orang yang ramah dan bersahabat, semakin menguatkan hati Syifa untuk berjilbab dan berhijab yang sebenar-benarnya. Syifa mulai nyaman dengan pakian yang menurut kebanyakan orang ‘ribet’. Dengan keadaan barunya itu, Syifa mulai memperbaiki dirinya, cap sebagai seorang muslimah berjilbab membuatnya merasa harus menjaga sikapnya, tidik bisa seperti dulu. Membatasi dirinya dari pergaulan dengan lawan jenis, mejaga kehormatan dirinya. Syifa mulai merasakan banyak kebaikan yang ia dapatkan setelah berjilbab, rasa nyaman, merasa aman, dihargai dan tidak dilecehkan.
Semenjak Syifa memutusakan untuk berjilbab, banyak sikap dan sifat yang berubah menjadi lebih baik. Apalagi lingkungan sekitar yang sangat mendukungnya untuk bisa menjadi orang yang lebih baik. Baginya, wanita soleha adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Selalu mencoba dan berusaha untuk menjaga diri dalam keistiqomahannya, melengkah dengan kelembutan hatinya.
Ada dua hal yang mulanya memotivasi Syifa untuk berjilbab yang merupakan kewajiban bagi wanita muslim, yaitu satu rasa takut, cinta dan terimakasihnya kepada Allah Swt serta karena bertubi-tubi berkah yang ia dapatkan karena berjilbab dan berhijab. Wallahualam.. manusia hanya bisa berencana namun Allah-lah sang sutradara Agung. Manusia hanya bisa meminta, tapi Allah-lah yang Mahakaya, yang berhak memutuskan apakah kita layak untuk mendapatkan apa yang kita mintakan dan apa yang kita inginkan. Merasa dekat dengaNya, merasa terjaga karena jilbab salah satu cara wanita menjaga syariat Allah Swt.

Wanita itu istimewa, maka istimewakanlah dirimu
Semua menjaganya, tak dibiarkan sedikit saja terluka
Begitu istimewanya ia, hingga bidadari pun turut menjaganya
Kecantikan hati yang terpancar dari teraturnya jilbab yang tersurai
Dunia menghargai, dunia menghormati dan dunia bangga padanya
Bukan perkara mudah memutuskan untuknya
Tapi hanya mereka yang tahu yang mantap untuk menempuhnya
Mulanya mungkin karena dipaksa
Menjadikan hati dan jiwa terpaksa menjalaninya
Namun, pada akhirnya Allah membuatnya terbiasa

Inilah TRIAS JILBABKUhati bergetar karenanya

Komentar

Postingan Populer