Para Sahabiyah Yang Disayang Allah


Para Sahabiyah Yang Disayang Allah

Nusaibah Binti Ka’ab
Ummu Imarah, demikian ia biasa dipanggil, adalah salah satu contoh keberanian yang abadi. Dalam sejarah Islam, selain disebut-sebut sebagai salah satu sahabat pionir dan berani, Nusaibah juga dinyatakan sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain dari dirinya sendiri. Ia termasuk satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang laki-laki Anshar yang hendak berbaiat kepada Rasulullah dalam Baiat Aqabah Kedua. Pada waktu itu, ia berbaiat bersama suaminya, Zaid bin Ashim, dan dua orang putranya. Kisah kepahlawanan Nusaibah yang paling dikenang sepanjang sejarah adalah pada saat Perang Uhud, di mana ia dengan segenap keberaniannya membela dan melindungi Rasulullah. Pada perang itu, Nusaibah bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting di bidang logistik dan medis. Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit Muslim dan mengobati mereka yang terluka. Ketika kaum Muslimin dilanda kekacauan karena para pemanah di atas bukit melanggar perintah Rasulullah, nyawa beliau berada dalam bahaya. Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk pertahanan untuk melindungi beliau. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya, Abdullah, ikut memerangi Musailamah hingga tewas di tangan mereka berdua. Beberapa tahun setelah Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia.
Saudah Binti Zam’ah
Janda Saudah binti Zam'ah adalah perempuan pertama yang dinikahi Nabi Muhammad SAW setelah Khadijah wafat. Diriwayatkan, saat itu para sahabat memerhatikan kesendirian Rasulullah sepeninggal istri tercintanya. Barangkali dengan pernikahan dapat menghibur dan mengurus Rasulullah, serta putri-putrinya. Namun, siapa yang berani menyampaikan usulan tersebut kepada Rasulullah? Dibandingkan dengan Aisyah, Saudah binti Zam’ah jauh lebih tua. Usianya saat itu mencapai 55 tahun. Ia juga bukan perempuan yang kaya raya seperti Khadijah. Tubuhnya tinggi besar, dan tidak cantik. Namun, Rasulullah tetap memilih Saudah sebagai istrinya. Di mata Rasulullah, Saudah sosok perempuan yang sabar, mujahidah yang ikut hijrah bersama kaum Muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Rasulullah meminta Khaulah menyampaikan niat baiknya itu kepada Saudah. Pernikahan Rasulullah dengan Saudah dilangsungkan dengan baik pada bulan Syawal tahun ke 10 Nubuwah. Saudah dikenal sebagai perempuan yang suka bersedekah dan berbudi luhur. Sedangkan sebagai istri, dia suka menyenangkan suami dengan kesegaran candanya. Sebagai ibu rumah tangga, Saudah tinggal kediaman Rasulullah sampai Aisyah datang menjadi istri Nabi. Usianya yang sudah lanjut membuatnya iklas waktu kebersamaan dengan Rasulullah diserahkan kepada Aisyah. Walaupun begitu, ia tetap bekerja keras mengurus rumah hingga Nabi wafat. Semasa hidupnya, Saudah termasuk istri Rasulullah yang banyak menghafal dan menyampaikan hadist-hadist Nabi. Ia wafat di akhir kekhalifahan Umar bin Khathab di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah.
Al-Khansa’ Binti Amr
Khansa terkenal dengan julukan "Ibunda Para Syuhada". Ia dilahirkan pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab mulia, yaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam dirinya. Ia adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tak kenal pura-pura dan suka berterus terang. Selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. Ia terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang tercinta yang telah tiada. Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu para syuhada. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur sebagai syahid di medan Perang Qadisiyah. Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa. Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata ia ikhlas melepas anak-anaknya berperang di jalan Allah. Mereka pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak yang tewas di tangan mereka. Akhirnya mereka pun satu per satu gugur sebagai syahid. Ketika Khansa mendengar kematian dan kesyahidan putra-putranya, sedikit pun ia tak merasa sedih. Bahkan ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya yang luas." Khansa wafat pada permulaan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, pada tahun ke-24 Hijriyah.

Komentar

Postingan Populer