Sekenario hidup, mengeja kematian
Pagi itu begitu cerah
dan indah namun tak selaras dengan perasaanku kala itu. Hatiku kacau saat
menatap tulisan yang ku tempelkan di meja belajar yang bertuliskan besok ada kuliah biokimia, fisiologi dan
statistika. Bagaimana tidak!? Aku sudah berniat untuk berangkat ke sebuah desa
terpencil pinggiran kota Jogja. Bukan untuk sekedar bertamasya, melainkan turut
berbagi dan merasakan betapa sukarnya kehidupan adik-adikku di sana. Ya, aku
mahasiswa peternakan semester II, baru seumur jagung aku menjadi pelajar yang
menyandang status mahasiswa, tetapi sudah dihadapkan dengan pilihan sulit
seperti itu, akademik atau pengabdian alias bakti sosial dan aku haruss berani
mengambil keputusan. Dengan banyak pertimbangan aku memutuskan untuk
meninggalkan kuliah pada hari itu, karena aku tidak ingin kehilangan pengalaman
dan kesempatan yang pastinya akan aku bawa sepanjang sejarah hidupku. Kegiatan
ini adalah kali pertama yang aku lakukan selama kuliah. Dua hari kegiatan ini
berlangsung dengan estimasi empat jam perjalan dan melakukan berbagai kegiatan
sosial seperti pengajaran, penyuluhan dan kegiatan bersama warga lainnya.
Terkait materi kuliah bisa ku usahakan dengan meminta penjelasan dari sahabatku
yang mengikuti perkuliahan tersebut.
Keberangkaatanku terasa
lega dn penuh semangat karena teriring doa dari seseorang yang jauh disana.
Benar kawan , dia adalah ayah dan ibuku. Yang selalu ku ingat pesan singkat
yang sampai sekarang masih tersimpan di inbox hanphoneku “seorang ibu tak pernah berharap banyak dan tak pernah
meminta lebih, hanya doa terbaik yang dapat ibu dan ayah berikan, semoga
senantiasa dalam penjagaanNya...”. itulah sepenggal pesan singkat yang
senantiasa aku ingat. Mereka menguatkan ragaku dan menopang jiwaku serta menguatkan
semangatku. Disinilah kunci yang aku tunggu dan saat ini telah aku dapatkan,
yaitu restu kedua orang tua. Meski terbilang terlalu dini, aku akan membuka
gerbang awal diriku untung memberikan apaa-apa yang bisa aku beri dan ku
bagikan, segenap ilmu yang terbilang baru aku dapatkan dan belum sepenuhnya aku
pahami di bangku kuliah dan akan aku jadikan ini sebagai sebuah alur perjalanan
dan pengalaman hidupku, karena aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan hal
yang demikian ketika aku telah lulus dari masa study ku nanti, mungkin saja
usia yang tak sempat memberiku waktu untuk mengabdikan diri. Tentunya langkah
yang aku ambil saat ini semoga akan membawaku agar senantiasa selalu bersyukur
dengan segala keadaanku.
Lemahkah
aku, tak berdayakah aku ketika sisa usia membatasiku untuk melakukan hal-hal
yang dapan menjadi tabunganku menuju keabadian kelak. Aku tidak peduli, selama
nafas menemani setiap hatiku, selama kesempatan masih ada di tangan ku.
Perjalanan yang begitu melelahkan kawan, apaliagi kendaraan yang aku dan
rekan-rekan tumpangi adalah truk karena kami akan melintasi jalan yang
menurutku harus diperbaiki. Jalan yang curam dikelilingi dengan lebatnya pohon
mahoni, bergelombang banyak lubang di sana sini. Sejenak ku tatapi setiap
rekan-rekan yang turut serta dalam perjalanan ini begitu semangatnya mereka
tanpa ada keluh yang tersungging sedikitpun di wajahnya. Itu baru mahasiswa
relawan yang bekerja karena hati bukan karena paksaan apalagi karena uang. Tak
hanya bangga dengan rekan-rekanku melainkan dengan dosen dari universitas lain
yang ikut mendampingi kami, beliau seorang dokter, yang tak pernah
henti-hentinya memberi nasihat, masukan kepada kami selama perjalanan terkait
suatu pengorbanan ke arah positif.
Sesampainya
disaana, aku melihat wajah adik-adikku yang sedang membantu orang tuanya
bekerja begitu bersinar dan senang menyambut kedatangan kami. Dengan tawa
mereka menghampiri kami, bersalaman denan kami, daan wajah yang lugu serta
penuh kerut sebagai bukti perjuangan mereka selama ini. Ya, usia mereka adalah
usia akaak sekolah namun keterbatasan ekonomi membuat mereka dengan berat hati
mengubur segala mimpinya. Di desa terpencil, pelosok dan jauh dari kesan
metropolitan hingga sinyal HP saja tak mau singgah barang sejenak. Di desa
itu hanya ada sekitar 89 orang, semua
kami data untuk melakukkan penyuluhan, pengajaran untuk anak-anak.
Di sebuah
padukuhan ( balai desa) kami semua bermalam, hanya beralaskan tikar dengan tas
kami sebagai bantal. Dan di saat itulah proses pembelajaran batin dan spiritual
bagi kami dimulai. Begitu naturalnya mereka, itulah mereka. Kami memang tak
sama, tapi bukan berarti kami tak bisa bersaama-sama. Itu slogan yang tertulis
di baju kami. Kelelahan yang kami rasakan kini terbayar sudah, tawa bahagia
yang mereka hampirkan tatkala memandang wajah kami. Hingga akupun tak kuasa
untuk menahan tangis yang sontak membuatku malu dan pergi dari hadapan mereka.
Ya aku satu-satunya mahsiswa dari peternakan sedang yang lain adalah mahsiswa
kedokteran, menyaksikan kegigihan mereka mengabdikan diri untuk masyarakat
terpinggir. Mungkin inilah yang bisa kami contoh, mahsiswa fakultas peternakan
UGM.
Tepat
pukul 08.00 pagi acara baksos kami mulai, di awali dengnan pengobatan geratis
bagi anak-anak setelah itu dilanjutkan para orang tua. Setelah semua selesai
kami para mahasiswa semester awal memberikan pengajaran kepada anak-anak, ya
dengan bekal ilmu alakadarny dengan percaya diri kamu berkata A sampai Z.
Sungguh miris, di era yang serba canggih saat ini, masih saja ada anak bangsa yang
kehilangan haknya untuk mendapatkan pengajaran. Apakah karena mereka terpencil,
terbelakang dan miskin?. Itu bukan alasan. Cukup dengan kegiatan seperti ini,
bisa membantu saudara-saudara kita,setidaknya mereka merasa diperhatikan dan
dianggap ada. Begitu dan begitulah dua hari yang kami lalui disana. Dan
akhirnya waktu mengharusan kami untuk kembali, berat hati yang mereka utarakan
karena kepergian kami semua. Tapi tugas kami di kampus masih banyak, semoga
keistiqomahan selalu mengawal langkah kami, untuk selalu mengingatkan kita
betapa pentingnya berbagi dengan mereka yang kurang beruntung dan tentunya ter
berusaha untuk memberikan kemanfaatan kapanpun dan dimanapun kita berada.
Sabtu
pagi, hari-hari pun berjalan seperti biasa, disibukkan dengan rutinitas kampus.
Senang karena bisa kembali beraktivitas bersamaan dengan itu aku harus siap
pula untuk disibukkan dengan kesibukkan praktikum, bagaimana tidak praktikum di
fakultasku begitu padat tidak kalah dengan FK, maunya. Alarm berbunyi
berkali-kali, karena kelelahan aku taak terjaga, ketika terbangun jam
menunjukkan pukul 03.49 WIB namun mata seakan-akan berkata “tidak mau, masih
ngantuk” dan begitu juga dengan mulut yang tak berhenti meng-huuaaaah. Kalau tidur lewat jam 1 malam
mungkin wajar mata dan mulut bertingkah sedemikian, bukan begadang karena ujian
atau sibuk dengan aktivitas menulis tapi aku memiliki hobi baru yaitu menulis
laporan praktikum heheh...
Berselang
beberapa saat, suara adzan berkumandang dan itu baru alarm mujarab yang dapat
membangunkankku. Seperti biasa, aku melakukan rutinitas yang biasa ku lakukan
mulai dari shalat, beres-beres, mandi dan berangkat kuliah, ya maklum saja
masih semester awal jadi kuliah masih pagi terus. Dengan semangat, menggendong
tas rangsel yang begitu berat, berisi buku-buku pelajaran, laptop yang selalu
menemani kemanapun aku pergi. Kampus dengan kost-ku tidak terlalu jauh, sekitar
150 m dan baru 100 m aku berjalan tiba-tiba sebuah sepeda motor yang melaju
kencang menyerempetku, spontan aku berteriak dan karena tidak bisa menjaga
keseimbangan tubuh seketika aku terjatuh, entah karena begitu cepatnya hal itu
terjadi sampai-sampai aku tidak sadar sekujur tubuhku penuh luka. Darah yang
masih segar mengalir begitu saja, karena panik aku hanya bisa menangis. Sudah
sebesar ini menangis? Bukan karena rasa sakitnya namun karena aku baru
menyadari, bahwasaannya yang paling dekat dengan kitaa adalah kematiaan. Sontak
begitu saja aku terbayang dengan sesuatu yang bagi banyak orang adalah sesuatu
yang mengerikan bahkan untuk sekedar dibayangkan. Betapa diri ini penuh syukur,
aku masih diberi kesempatan untuk terus melanjutkan hidup, setidaknya untuk
memperbaiki apa yang selama ini salah dalam hidupku, ya meskipun tidak bisa
begitu saja berubah. Kejadian yang hampir membuat nyawaaku melayang bukan hanya
ini, kejadian ini adalah yang kesekian kalinya. Sewaktu SMA, aku menderita
sebuah penyakit yang bisa dibilang terlalu berat untuk anak sesusia aku dulu.
Ginjal...!!!! ya, itu adalah penyakit yang sempat menggerogoti tubuhku selama
hampir tiga tahun, sebuah perjuangan besar untuk bisa lulus dari keadaan ini.
Kematian, kematian dan kematianlah yang terus menggelayuti fikiran dan perasaan
ini, akankah aku mati diusia yang muda ini. Namun, semua orang yang ada
disekitarku yang senantiasa memberi semangat dan tentunya doa serta sebuah
keajaiban yang besar, yaitu pertolongan Tuhan. Benar saja, aku sembuh meski
masih sedikit terasa sakit.
Kini
hari-hariku ku lalui dengan penuh perhitungan, aku tidak ingin sedetik pun
dalah haari-hariku diisi dengan kegiatan-kegiata yang tidak bermanfaat.
Menyibukkan diri dengan tugas kuliah atau sibuk dengan organisasi di kampus.
Tapi itu bukan pelarian karena pola pikirku yang baru, tapi karena aku ingin
memanfaatkan waktu yang masih disisakan untukku dengan hal yang bisa bermanfaat
bagi banyak orang. Namun, aku juga tak ingin menjadi manusia yang lalai, yang
hanya mengejar dunia semata. Ada sebuah pepatah yang mengatakan “kejarlah
akhirat, maka dunia akan mengejarmu”, itu yang saat ini menjadi peganganku.
Sudah,
cukup membahas masalah kematian, meskipun dengan mengatakan cukup aku masih
saja memikirkan itu. Ssekarang aku masih menikmati masa-masa emas di bangku
kuliah sebelum nanti sibuk dengan urusan skripsi. Aku ingin mengabadikan setiap
yang ku alami sebagai sebuah memoar. Aku ingat sebuah kata-kata “ jika kau
ingin dunia mengenangmu maka menulislah, atau lakukan sesuatu dimana orang lain
akan menuliskannya untuk dunia”, bukan kalimat yang pertama yang ku pegang,
tapi yang kedua “lakukan sesuatu dimana
orang lain akan menuliskannya untuk dunia”. Sekarang saaatnya jadi MAN
ACTION, yang terus bergerak tidak hanya sekedar teori.
Komentar
Posting Komentar